“Inilah alasan kita harus mencari titik temu. Tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak. Kuncinya adalah duduk bersama dan membangun kesepakatan yang adil, agar pariwisata tetap berkembang tanpa mematikan tambang, dan sebaliknya,” ungkap Rahmawati.
BACA JUGA:Belitung Pamerkan Pesona Wisata di MATTA Fair Kuala Lumpur 2025, Pariwisata Babel Catat Tren Positif
BACA JUGA:Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Babel 2025 Melejit, Naik 55,39 Persen
Solusi Bersama untuk Masa Depan Babel
Komisi VII DPR mendorong adanya regulasi dan pola kolaborasi yang lebih konkret. Pemerintah daerah, pelaku pariwisata, serta pengusaha tambang diminta membentuk forum bersama untuk merumuskan solusi jangka panjang.
Langkah ini dianggap penting agar Bangka Belitung tidak hanya dikenal sebagai daerah tambang timah, tetapi juga sebagai destinasi wisata kelas dunia yang berkelanjutan.
Dengan letak geografis yang strategis, Babel memiliki modal besar untuk mengembangkan pariwisata berbasis alam dan budaya. Namun, keberhasilan itu membutuhkan lingkungan yang bersih, pantai yang terjaga, serta dukungan infrastruktur yang memadai.
Jika aktivitas tambang dibiarkan tanpa kendali, potensi wisata Bangka Belitung bisa hilang dan justru memperlebar ketimpangan sosial.
BACA JUGA:Rekomendasi Hotel Wisata Terbaik di Belitung, Lokasi Paling Strategis Dekat Pantai Tanjung Kelayang
BACA JUGA:Lagi Hits! Ini 10 Tempat Wisata Populer di Bangka Belitung, Salah Satunya Sempat Dikunjungi Shabrina
Tantangan dan Harapan
Kondisi Tapak Antu menjadi potret kecil dari dilema besar yang dihadapi Babel. Bagaimana mengelola kekayaan alam timah tanpa merusak ekosistem, sekaligus menjaga citra wisata yang menjadi andalan pembangunan daerah? Jawaban dari pertanyaan itu ada pada kebijakan kolaboratif.
“Bangka Belitung tidak boleh kehilangan salah satu potensinya. Justru dengan sinergi antara tambang dan wisata, masyarakat bisa menikmati hasilnya secara adil,” tutup Rahmawati, politisi Partai Gerindra.***