Literasi Tanpa Basa Basi

Literasi Tanpa Basa Basi

Oleh: Dr Dwi Haryadi, Akademisi UBB

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan undangan oleh SMAN 1 Manggar untuk menjadi salah satu narasumber bedah buku hasil karya guru dan siswanya. Cukup terkejut karena dalam acara bedah buku biasanya yang dibedah hanya 1 atau paling banyak 3 buku. Tapi kali ini ada 12 karya buku yang harus dibedah. Luar biasa, itu saja yang terucap, karena dalam setahun sekolah ini bisa menghasilkan 12 karya buku. Sekali lagi buku, bukan sebatas tulisan opini, cerpen atau puisi. Dengan sedikit ragu, tetapi akhirnya tawaran diterima sebagai sebuah tantangan. Tidak mudah, namun bisa jadi pengalaman yang mungkin tidak terulang untuk kedua kalinya. Sekaligus jadi kontribusi sebagai seorang alumni.

Sekolah Penggerak Literasi

Tentu bukan soal angka 12 alias kuantitasnya. Tetapi juga soal kualitas buku-buku yang dihasilkan juga berbobot. Dengan berbagai genre buku mulai dari buku kompilasi opini, kumpulan puisi, cerita rakyat, autobiografi, bergenre religi, sampai buku dengan duo bahasa pun dihasilkan sekolah ini. Jadi tidak salah jika SMAN 1 Manggar disematkan sebagai Sekolah Penggerak Literasi, karena memang perjuangan semua civitasnya yang luar biasa dalam menumbuhkan budaya menulis harus diacungi jempol. Disaat pandemi melanda dengan tingkah malas gerak alias mager dan budaya kita yang terbiasa dengan tutur lisan menjadi tantangan tersendiri untuk memaksa menulis. Namun aktor-aktor sekolah ini perlahan tapi pasti justru aktif menulis disaat yang lain mager bahkan tidur. Sekolah ini telah melangkah lebih, dari tutur lisan ke budaya tulis. Inovasi dan mampu menggali potensi semua aktor sekolah inilah yang harus banyak dilakukan agar lahir banyak prestasi dan karya tiada henti. Sulit atau mudah tergantung keberanian memulainya. Jangan-jangan banyak potensi, hanya saja selama ini kita malas menggalinya atau sudah ditutup dengan pesimisme yang menjamur. Semoga spirit literasi sekolah ini jadi contoh bagi ribuan bahkan jutaan sekolah lainnya seantero negeri. Pembaca tunggu karya-karya berikutnya yang lebih bernas, sebagai wujud literasi tanpa basi basi, real. (mem) Bedah Buku

Memang tidak mudah membedah 12 karya sekaligus. Tetapi saya memberanikan diri saja dengan pengalaman menulis yang pernah dijalani. Pertama, buku dengan judul Kopileterasi Guru. Buku ini dari sisi judul jelas bercitarasa lokal, karena Belitung Timur dikenal dengan kota seribusatu warung kopi. Jadi secara tidak langsung buku ini memberi pesan bahwa kebiasaan ngopi masyarakat lokal kiranya dibarengi dengan frekuensi literasi yang tinggi. Buku ini isinya kurang lebih perihal mengolah kata menjadi penuh makna, pengalaman dan praktik menulis, serta geliat perjuangan literasi. Ada sumbangsaran untuk buku ini dibagian 3 bab sebelum akhir, sebaiknya dalam edisi khusus karena temanya lebih kepada aktivitas kepala sekolah.

Buku kedua, dari judulnya sudah penuh dengan motivasi. Just Speak Up. Isinya dibuka dengan varian-varian tujuan untuk orang bercasciscus dalam bahasa inggris. Buku ini menjadi tangga pemula menuju speak up. Dilengkapi dengan contoh dan dialog praktis. Ketiga, buku dengan duobahasa ini dari judul sudah menjual wisata Belitung Timur. Dengan duo bahasa sama saja sudah mendunia. Ditulis oleh tangan-tangan pribumi yang tahu persis bagaimana potensi keindahan daerahnya. Buku ini sinergi antara literasi, dan promosi. Buku keempat dan kelima merupakan buku kumpulan artikel ilmiah dan puisi hasil lomba. Artinya karya ini hasil kompetisi dan sudah teruji. Banyak gagasan-gagasan millenial disana, sayangnya belum tercluster sesuai tema. Buku keenam punya genre tersendiri, yakni sebuah novel dengan judul Risak. Karya ini harus diapresiasi karena sebuah karya solo yang tidak semua siswa bisa menulisnya. Berkisah tentang kehidupan keluarga. Selanjutnya karya dengan judul Tinta Emas Negeri Bawah Angin, berisi kumpulan cerita rakyat sebagai wujud kepedulian kepada kearifan lokal yang seiring waktu hilang diterjang arus teknologi dan cerita masa kini. Karya ini sedikit menggeser sastra lisan ke sastra tulis. Kita harus berterimakasih kepada para penulis yang telah berjuang merangkai dalam tulisan cerita-cerita yang mungkin sering kita dengar dari orang tua kita dulu. Buku berikutnya ditulis oleh orang yang sama, dengan genre berbeda. Yang satu literasi religi dengan judul jalan lurus yang mengambil sisi peran orangtua dalam merespon pubertas anak-anaknya. Penuh dengan nilai agama dan penting dibaca oleh para orang tua. Buku kedua cenderung sebagai sebuah karya autobiografi dengan latar cerita lika liku perjuangan keluarga meraih sarjana. Banyak kisah penuh hikmah dan menjahit masa lalu, kini dan masa depan.

Tiga buku terakhir, tentu masih soal literasi. Buku kesepuluh mengambil tajuk Lentera Wiyata, percik nyala pemikiran guru merupakan hasil ide dan gagasan para guru sesuai dengan pengalaman dan latar belakang keilmuannya masing-masing. Isi tulisannya dimulai dari tips menulis artikel, penuh gagasan dan masukan saya perlunya tematik sub bab untuk memudahkan pembaca. Tapi sekali lagi buku ini bentuk literasi tanpa basa basi. Guru tidak ngoceh saja meminta muridnya menulis, tetapi justru guru yang terdepan dan memberikan contohnya secara nyata. Buku kesebelas, dan yang menjadi salahsatu mesin penggerak literasi di sekolah ini, kelas sosioliterasi. Buku ini edisi best practice dan menurut saya ini gagasan cerdas ditengah pandemi. Dimana ada keterbatasan aktivitas massa, kelas ini aktif menulis yang bisa dilakukan sendiri dan dimana saja. Buku ini mudah dipahami bagi penulis pemula dan menunjukkan betapa pentingnya peran media massa. Terakhir, buku literasi organisasi. Karya ini menurut saya menunjukkan betapa cap bahwa anak osis hanya orang lapangan yang disuruh-suruh kerja teknis salah besar. Karena aslinya mereka juga punya konsep dan bisa menulis dengan banyak gagasan cerdas untuk kemajuan organisasi dan sekolahnya. Literasi organisasi juga menjadi cara mensosialisasikan betapa positifnya berorganisasi bagi masa depan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: