Mengintip Ironi di Tanah Kelahiran Belitung

Mengintip Ironi di Tanah Kelahiran Belitung

Aik (Air) kolong bekas tambang timah di Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur (Beltim)-Ist-

Oleh : Atikah Triani, Alumni Unikom Bandung

 

JAM di atas dinding bus tua Pulau Belitung yang saya tumpangi menunjukkan arah pukul 3 lewat sedikit ke arah pukul 4 sore. Bus melintas mengejar matahari terbenam senada dengan roda berputar.

Mobil roda 6 itu beranjak menyusuri danau seluas setengah bekas galian timah ini. Tampak danau dipenuhi ilalang pertanda sudah lama ditinggalkan sejak isinya dikeluarkan dari perut bumi.

Di dalam Bus itu saya duduk di kursi biru dengan sarung robek dan busa isinya menyembul keluar. Penampakan yang sangat lazim ditemui dalam bus antar kota terbitan berapa puluh tahun silam.

Belum lagi bau amis bekas paket yang dikirimkan penumpang barat menuju timur siang tadi masih menyisakan anyir semerbak bercampur keringat kuli yang bekerja jauh di pedalaman.

Maklum saja bus-bus ini kadang jadi kurir paling andal dalam pengiriman timur ke barat dan sebaliknya. Lantai besinya jadi saksi paling akurat tempat bau barang angkut dan kotoran bekas kaki itu menempel.

Begitulah bus menjadi satu-satunya kendaraan umum penyangga penghubung dua kabupaten di Pulau Belitung yang berpenghuni 184.004 jiwa ini (‘Kabupaten Belitung dalam angka’, www.belitungkab.bps.go.id).

Bukan tanpa sebab, ketiadaan transportasi umum ditempat ini adalah keajaiban yang erat sangkutpautnya dengan kemakmuran masyarakat belitung sendiri. Timah yang melimpah ruah sampai-sampai menjadikan Indonesia penyumbang cadangan timah terbesar kedua di dunia setelah China (‘Peluang Investasi timah Indonesia’, booklet Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2020).

Begitupun hasil pertanian yang tak kalah aduhai, lada putih yang rasanya terkenal menawan dan punya rasa pedas bersaing di dunia, serta harganya yang sexy telah mendarah daging di hati anak cucu kami.

Suplai lada Indonesia dalam perdagangan dunia dipasok dari jenis lada putih wilayah kami yang sudah mempunyai Brand Image yang dikenal dunia.

Lada putih telah memiliki Sertifikasi Indikasi Geografis yaitu dengan ciri khas lada lebih pedas dari jenis lada lainya dan utamanya dihasilkan dari Provinsi Bangka Belitung. (A booklet on ASEAN Geographical Indications Procedure and Products, 2019).

Meskipun belakangan sektor pertanian lada penyokong ekonomi rakyat kalah pamor karna harga timah tengah melambung.

Lebih daripada itu kaolin merupakan hal lain dari kejayaan masa lalu yang kini telah pergi meninggalkan danau putih bekas galian tambang seperti halnya timah. Dekatnya lokasi tambang sebagai bahan baku industri tak ayal membuat salah satu perusahaan keramik tersohor pernah eksis di kota ini.

Pada tahun-tahun berdirinya perusahaan itu pernah menjadi primadona di pasar luar negeri sebelum minggat dari bumi Belitung.

Seperti buah simalakama akibat isi perut bumi yang dikeluarkan berlebihan meskipun adalah berkah tersendiri bagi datuk moyang kami. Namun di masa depan tambang menjadi sumber malapetaka yang menyisakan duka.

Entah itu pertemuan buaya muara dengan pangkal danau bekas galian. Dampak buruk air logam terlarut air kolong yang usianya di bawah 25 tahun yang kadangkala dijadikan sumber air baku masyarakat sekitar kala kemarau tiba. Juga banjir yang tak terhingga akibat kurangnya resapan air hujan dan pendangkalan di hulu-hilir sungai ataupun kematian akibat dalamnya danau yang tak bisa diprediksi menyebabkan anak-anak kehilangan kendali ketika berenang.

Keterbiasaan warga menggunakan kendaraan pribadi tidak mencuatkan minat pengusaha lokal berbisnis dalam ranah transportasi. Peluang sewa pinjam kendaraan roda dua untuk backpacker tak disia-siakan. Dengan sepeda motor backpacker  bisa menuju loka-loka tujuan wisata.

Demikian dengan penyewaan kendaraan roda empat buat pelancong yang berwisata di kawasan yang tengah moncer pasca melambungnya nama Laskar Pelangi di penjuru negeri.

Lamunan saya itu langsung terjungkal mendengar lelaki paruh baya disamping saya yang sesekali terbatuk-batuk, ditambah lagi teriakan ingar bingar anak kecil. Alunan musik dangdut serta perpaduan kopling dan gas yang tersendat-sendat menyeret kami berjalan lebih jauh menyusuri hutan yang makin rimbun membawa pikiran saya jauh ke ujung negeri.

Keinginan masih membuncah harapan masib terjaga, barangkali perjalanan selalu membawa kita memikirkan nasib. Seringkali itulah yang membuat saya selalu menyukai bepergian.

Kadang kadang bukan titik yang ingin saya tuju namun perjalanan menempuh waktu kearah tujuan yang menjadikan sebuah kisah begitu istimewa. Saya seringkali menempuh semuanya sendirian, waktu yang tepat untuk sebuah pikiran yang panjang alih-alih berbicara dengan teman yang pergi bersama.

Lebih seringnya saya terbawa menyelami masalah-masalah yang mampir di hidup, menyusun strategi, bahkan membuahkan solusi buat esok hari. Sesekali saya mengobrol dengan kawan seperjalanan yang baru saya kenal atau membiarkan biola melantunkan musik yang saya sukai. Musik dari tangan musisi jalanan yang kadangkali pionir menyajikan musik kelas dunia.

Itupun kalau beruntung berkendara di bus antarkota di luar pulau ini. Sebab jangankan pengamen, peminta-minta di tepi jalan akan lekas disapu bersih Satpol-PP daerah kami untuk dipulangkan ke daerah asalnya.

Itu semua akibat pandangan mata sinis masyarakat daerah kami yang mayoritas berpegang teguh pada gengsi kelas tinggi yang tidak bisa terima anak-cucu jadi pengemis. Saya jamin tidak ada satupun pengamen dan pengemis di seantero kota ini. Beberapa rela jadi kuli panggul mengorbankan kulit hitam dipanasnya matahari di atas rata-rata daerah lain di Indonesia.

Hal ini tak luput dari kondisi kepulauan daerah kami yang dikelilingi megahnya laut china selatan dan laut jawa, meskipun kebanyakan masih sudi berkubang pasir dan air kolong mengekploitasi sisa-sisa tambang timah puluhan tahun silam sejak zaman Hindia Belanda.

Ngelimbang masyarakat setempat menamainya dalam hal lain mendulang sisa-sisa timah di dalam tanah bekas penambang timah dengan mesin rajuk sembari berendam dalam lumpur. Tambang-tambang rakyat ini lantas ramai digemari anak-anak putus sekolah yang merasa terhormat untuk sekedar mencari sesuap nasi dibandingkan meminta-minta di jalanan.

Bahkan beberapa diantara mereka yang punya modal berlebih rela membeli mesin timah sistem rajuk dengan alasan perut dan ekonomi untuk menghisap lebih banyak timah dari dalam perut pulau ini.

Belakangan tambang rakyat semakin menjadi-jadi merusak kedalam perkebunan warga. Laporan kerusakan serta kalang kabut aktivis lingkungan selalu menjadi perbincangan teratas di warung-warung kopi.

Kalau ditilik kembali warung kopi bagi kami adalah rumah bagi semua kalangan menghabiskan waktu senggang dengan bersantai sembari menyesap pahitnya merupakan ibadah wajib bagi warga lokal sejak berabad-abad silam. (jauh sebelum coffee shop modern menjamur) Tidak hanya fungsinya secara umum namun warung kopi sekaligus sebagai ajang bertukar informasi, budaya dan politik.

Lebih jauh ke dalam rimba roda bergulir menelusuri bekas tambang timah yang tak pernah putus terlihat di jendela bus yang basah. Saya disuguhi mobil truk yang terhempas dari badan jalan kearah lubang kiri akibat aspal yang menganga.

Truk terbalik bersama muatannya tumpah berhamburan, mungkin overload dalam rangka menghemat bahan bakar. Ataupula perpaduan kondisi jalan yang licin dan lubang menganga di sepanjang jalan yang tidak begitu mulus menyebabkan mobil angkut sawit itu terjungkal.

Ini adalah bentuk lain dari peluang pengusaha dalam mencari cuan di daerah ini. Pikiran saya melanglang lebih jauh. Dekade berlalu secepat roda mobil angkut bermuatan puluhan ton tandan buah segar berputar mengular keluar dari pelataran perkebunan menuju pabrik-pabrik pabrik pengolahan kelapa sawit.

Buah sawit dihancurkan dan diolah menjadi Crude Palm Oil yang selanjutnya siap diekspor sebagai komoditas melintasi selat karimata untuk diolah menjadi produk turunannya. Sektor andalan ekonomi masyarakat perlahan-lahan bergulir ke pertanian kelapa sawit.

Perlahan kami mengendap di kelamnya malam, sementara matahari tertidur nyenyak diperaduannya. Yang ada hanya redup lampu senter lima watt dengan kabel yang di tempelkan serampangan di langit-langit bus. Kami menuju barat, semakin dekat dengan pusat kota.

Sementara sepanjang jalan masih saja saya temui truk-truk bermuatan yang dengan pongahnya merayap melintasi kota menebas isu-isu lingkungan yang kian memburuk bergantian menuju pelabuhan sesekali berpapasan dengan bus kami.

Namun waktu seolah berhenti di kampung ini, membayangkan obral izin tambang serta keterbukaan akses yang membawa berton-ton muatan hasil bumi yang dikeruk. Itu mengingatkan saya pada pusat keramaian dikota ini yang tidak berbanding lurus dengan harta karun yang ada di dalamnya.

Mulai dari jalan yang berlubang di sepanjang jalur ke pusat kota, kurangnya fasilitas umum, serta tidak adanya hiburan menarik buat masyarakatnya setelah seharian bekerja di bawah terik matahari.

Dengan kondisi itu seolah-olah pemerintah setempat hanya fokus pada sektor-sektor potensial namun kurang memperhatikan sektor publik.

Sebagai daerah penyangga provinsi kepulauan sudah saatnya Belitung berbenah memberikan pelayanan publik kelas satu tidak hanya bagi wisatawan namun penduduk lokal bukan hanya sektor wisata alam saja.

Lebih dari itu sudah saatnya gagas pendapat digelar untuk kebaruan regulasi pembangunan sistem tata wilayah dan sektor publik untuk mendongkrak ekonomi.

“Simpang depan turun sikok”, suara kernet bus setengah berteriak kepada supir yang tengah asik mengemudi membangunkan saya dari pikiran yang semrawut sepanjang perjalanan dua jam lebih sedikit.

Mobil mengerem pelan menurunkan saya di persimpangan jalan yang gelap. “Makase pak” memaksa saya melanjutkan perjalanan sembari menyalakan senter berjalan kaki menuju kerumah.

Malam menjelang, nafas memburu peluh berayun dari dahi turun ke pipi, pun dalam perjalanan singkat menuju rumah bekas galian tambang masih menganga saya semakin larut dalam pikiran yang makin panjang.

Seperti yang sudah sudah, hari-hari penuh ironi layaknya makanan wajib, maka sudah selayaknya kita melantunkan solusi. Semoga kota ini segera bangkit kembali pasca pandemi yang menguras segalanya, agar bisa tersenyum seperti sediakala. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: