Untuk membuktikan produk Anda bodoh atau tidak –ups salah. Untuk membuktikan produk Anda punya komponen dalam negeri atau tidak, Anda harus mengurus sertifikat.
Sertifikatlah yang menentukan semua itu.
Yang berhak mengeluarkan sertifikat adalah Kementerian Perindustrian. Anda harus mengurus ke sana. Barang Anda akan diperiksa. Lalu, keluarlah sertifikat: berapa persen TKDN
Anda. Anda berhasil. Atau Anda tidak berhasil. Bisa saja Anda gagal mendapat sertifikat karena tidak bisa membuktikan asal-usul komponen itu.
Atau tidak mampu membayar biayanya.
Padahal, sertifikat TKDN itu harus ”dilampirkan” di kolom TKDN di aplikasi e-katalog LKPP.
Mungkin banyak UMKM yang berat bayar biaya sertifikasi TKDN. Mereka memilih berspekulasi: masuk saja ke e-katalog LKPP. Pun tanpa sertifikat TKDN. Toh tidak dicekal.
Tidak diperiksa. Dan lagi, mereka memang bisa mempertanggungjawabkan TKDN-nya lebih dari 40 persen –di depan Tuhan sekalipun.
Tapi, yang membeli barang itu bukan Tuhan.
Para pejabat pembeli barang memerlukan sertifikat itu. Agar tidak dianggap salah. Sertifikat bisa lebih penting daripada kenyataan.
”Merdeka e-katalog” model LKPP sekarang ini bisa jadi membingungkan calon pembeli. Di pusat maupun daerah. Begitu banyak pilihan. Terlalu banyak. Begitu ragam harga. Begitu bervariasi kualitasnya.
Mana yang akan dipilih untuk dibeli? Yang paling murah? Yang paling baik? Yang paling cocok?
Bisakah pemilik barang yang paling murah mempersoalkan pejabat yang membeli barang lebih mahal? Siapa yang mengawasi?
E-katalog dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan sistem tender yang bisa diatur. Atau hanya yang punya koneksi yang bisa dapat peluang. Dengan e-katalog, semua kelemahan itu hilang. Seharusnya.
E-katalog tidak boleh napak tilas pendahulunya itu. Ayo, kita pikirkan bersama caranya. Dengan cara memanfaatkan kemajuan teknologi informasi sekarang ini.
Atau, e-katalog masih rasa lama: sudah masuk e-katalog yang online masih perlu melobi pejabatnya secara offline. (Dahlan Iskan)