Oleh: Joyce C. Fuyono (Siswa Kelas Sosioliterasi G4 SMAN 1 Manggar)
PERUBAHAN perilaku hidup di era globalisasi ini telah memengaruhi kebiasaan berkomunikasi seseorang untuk membangun relasi dengan orang lain, khususnya pada generasi muda. Komunikasi merupakan salah satu kunci untuk bersosialisasi dengan pihak lain. Meskipun begitu, cara komunikasi yang tidak efektif dapat memicu kesalahpahaman dan berujung kontroversi, bahkan konflik.
Permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini bisa dikatakan cukup viral dengan sebuah penerapan sikap yang berunsur penekanan dan mengatur terhadap suatu perbedaan atau ketidaksetaraan tertentu, yakni rasisme. Sikap tersebut bisa dikatakan sangat berbahaya dan menyebar dengan cepat di kalangan anak zaman sekarang. Namun tidak jarang jika di beberapa negara masih memiliki gejala sosial seperti ini dan masih terus berkembang. Rasisme ini pun tidak hanya dilakukan dan dialami dari orang dewasa, tetapi rasisme juga terjadi di kalangan remaja.
Rasisme atau rasialisme menurut KBBI V adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda. Selain itu, rasisme ini juga diartikan paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.
BACA JUGA:Peta Mutu Sekolah
Menurut Tulus Ariyanto (2015) yang dikutip dari kompasiana.com, remaja yang melakukan sikap rasisme biasanya menginjak usia dari 14-16 tahun. Semenjak fenomena rasisme ini masuk ke dalam lapisan remaja, alhasil berhasil membuat kalangan anak menjadi gelisah dan menimbulkan berbagai permasalahan sosial masa depan.
Rasisme dapat menyebar dari beberapa interaksi sosial, seperti salah satunya adalah pergaulan. Saat ini semua komponen dari dunia remaja telah diubah hanya dengan efek pergaulan ini. Pergaulan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu pergaulan positif dan pergaulan negatif.
Pergaulan positif adalah hubungan yang berinteraksi dengan sekelompok individu yang bersifat memilih dengan tujuan untuk tidak merusak. Sedangkan pergaulan negatif atau bisa disebut dengan pergaulan bebas adalah hubungan interaksi antar seseorang yang bersifat menyimpang dan tidak terkontrol dengan peraturan apapun. Pergaulan bebas merupakan kunci awal mula terbentuknya rasisme ini dan terbelah ke beberapa cabang-cabang yang lain.
Faktor utama penyebab timbulnya rasisme di kalangan remaja adalah adanya kecenderungan cara berpikir bahwa dirinya lebih unggul dan lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain dari segi ras, agama, suku, antar golongan, serta ciri fisik tertentu yang dianggap lebih rendahan. Itu dikarenakan adanya pemikiran yang berprasangka buruk dan hilangnya sikap saling menghargai terhadap perbedaan tertentu, yang bisa saja merupakan ajaran dari orang terdekat yang terbawa sampai saat ini.
Sebagai contoh, bisa dimulai dari hal kecil yang biasanya dilakukan oleh anak muda zaman sekarang, yaitu membuat panggilan nama khusus kepada temannya. Menurut Tulus Ariyanto (2015), sebagian besar remaja mengaku bahwa mereka melakukan hal ini hanya untuk memenuhi kesenangan sendiri, atau agar mereka tidak dianggap aneh dibanding yang lain.
Semenjak sikap ini ada di Indonesia, menyebabkan terjadinya perubahan dalam dunia keremajaan. Dengan adanya rasisme tersebut, maka akan sangat berpengaruh terhadap psikologis generasi muda. Pada mulanya terjadi rasisme hanya sebatas menyindir dan mengotori segi perbedaan tertentu, kemudian membesar menjadi sebuah kekerasan.
Berdasarkan pengalaman penulis, kekerasan tersebut bisa seperti mendorong, menjambak, menampar, memukul, menendang, bahkan dijadikan bahan untuk dipermalukan di depan umum. Dalam kekerasan tersebut, dapat dikatakan bahwa rasisme termasuk juga dengan tindakan bullying, karena melakukan diskriminasi dan penindasan yang sengaja dilakukan untuk mengomentari ciri fisik umum, yang bermaksud untuk menyakiti secara berkesinambungan. Dengan adanya kekerasan itu, tidak sedikit pelajar yang mengeluh dengan pihak sekolah agar dapat segera mengatasi kasus tersebut.
BACA JUGA:Partisipasi Masyarakat Sebagai Bagian Penyelenggaraan Pemilu
Pastinya tidak hanya penulis yang menyadari bahwa semakin lama angka pelajar di Indonesia yang putus sekolah akibat kekerasan naik secara drastis. Data KPAI menunjukkan pada tahun 2022 terdapat 226 kasus kekerasan fisik, psikis, termasuk dalam hal ini perundungan. Dampak dari rasisme pada remaja adalah adanya gangguan mental, seperti sulitnya dalam mengontrol perasaan, motivasi, akal, sikap, dan pikiran.
Sikap rasisme pada remaja dapat memicu stres dan cemas, lalu yang lebih buruknya lagi adanya keinginan untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Bisa dilihat jika ada banyak pelajar yang merupakan korban dari rasisme ini terpaksa harus berhenti sekolah, karena tidak dapat fokus dalam proses pembelajaran dan berakhir mengidap penyakit psikologis.