Penyimpangan Senioritas di Dunia Pendidikan
Rifania Aufadira --
Oleh: Rifania Aufadira (Siswa Kelas Sosioliterasi G4 SMAN 1 Manggar)
PEDIDIKAN merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan, karena tanpa adanya pendidikan, mungkin sekarang kita tak tahu apa itu baca-tulis. Pendidikan juga sangatlah penting untuk kemajuan suatu bangsa dan negara. Tanpa adanya pendidikan, generasi emas dengan pola pikir cerdas tak akan tercipta. Di samping pendidikan itu sendiri, karakter yang kuat juga menjadi fondasi terciptanya generasi yang berkualitas. Maka dari itu, dibuatlah kebijakan yakni “Pendidikan Karakter”.
Mengapa pendidikan harus dibarengi dengan edukasi karakter? Karena karakter sangat penting untuk menjadikan seorang manusia menjadi orang yang baik dan bijak, dan juga karakter merupakan cerminan bagaimana kepribadian seseorang, baik secara perilaku, sikap, dan juga mental. Apalagi di era yang serba digital seperti sekarang, tak dipungkiri bahwa remaja yang masih dalam kategori labil bisa terpengaruh dan melakukan tindakan-tindakan tak bermoral yang didapatkan melalui media digital. Maka dari itu, karakter bukan lagi harus, tetapi merupakan bagian wajib untuk ditanamkan pada generasi muda dari sejak dini.
Selain itu usia remaja sangat diutamakan dalam hal pendidikan, karena mereka perlu dibekali dengan banyak hal untuk menginjak usia dewasa, seperti ilmu, pemahaman, keterampilan, dan juga keahlian yang bermanfaat. Karena usia remaja menjadi penentu bagaimana nantinya seorang remaja tersebut ketika kelak beranjak dewasa. Remaja yang notabenya cenderung memiliki kondisi labil akan mudah menerima dan memproses segala sesuatu yang mereka terima. Masa pembentukan seorang remaja sangat ditentukan dari segala hal yang diterimanya. Selain itu, faktor lingkungan pendidikan yang aman, kondusif, tanpa permasalahan bagi pelajar juga menjadi alasan untuk dapat mewujudkan generasi emas harapan bangsa.
Tetapi, apa pernah kita berpikir bahwa dunia pendidikan di Indonesia sudah aman bagi para pelajar? Sering kali kita melihat berita-berita mengenai tindakan tak bermoral di dunia pendidikan yang beredar di dunia maya, bahkan tak jarang hal itu terjadi di sekitar kita. Hal itu membuktikan bahwa dunia pendidikan kita masih belum di kondisi aman.
BACA JUGA:Refleksi Kurikulum Merdeka: Guru Loss Everything
Seseorang yang pernah atau tengah menjalani dunia pendidikan pastinya tak asing lagi mendengar kata "senioritas". Keadaan seseorang yang lebih tinggi baik dari usia, pengalaman, maupun pangkat, secara umum tingkatan yang kita kenal sebagai senior dan junior itulah senioritas.
Tingkatan antara senior dan junior itu awal mulanya sebagai bentuk penghormatan adik kelas kepada kakak kelasnya. Namun seiring berjalannya waktu, tingkatan ini mulai mengalami penyimpangan dan kerap kali disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Tak jarang kita temui bahwa senioritas ini melibatkan kekerasan yang sangat merugikan, bahkan menimbulkan korban jiwa. Meskipun senioritas ini sudah sering kali ditindak dan mulai dihilangkan dari dunia pendidikan, tetapi masih banyak oknum yang melakukan tindakan senioritas di sekolah dan dunia pendidikan lainnya dengan melibatkan kekerasan.
Contoh tindak penyimpangan senioritas yang kerap kali terjadi antara lain: 1) Menindas junior, yang sering disebut sebut melatih mental, padahal tak jarang tindakan yang dilakukan sudah jauh dari batas wajar dan tak sedikit pula yang melibatkan kekerasan; 2) Mengatur junior hal yang tidak berhak mereka atur, seperti melarang juniornya untuk tidak melakukan hal-hal yang mereka sebutkan, padahal hal tersebut tidak ada dalam aturan; 3) Menyebarkan gosip buruk yang tak sesuai fakta tentang junior, hal ini biasanya terjadi akibat timbulnya iri hati karena merasa ada sesuatu yang lebih dari junior yang tidak dimiliki oleh senior; 4) Labrak-labrakan, penyebab hal ini terjadi juga serupa dengan tindakan nomor 3, dan tak jarang pula melibatkan kekerasan; Dan mungkin masih banyak perilaku tak berkarakter lain yang dilakukan senior kepada junior/ adik tingkatnya.
Dilansir dari www.kpai.go.id (2017), sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini didapat berdasarkan data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menurut survei International Center for Research on Women (ICRW). Angka tersebut lebih tinggi dari Vietnam (79%), Nepal (79%), Kamboja (73%), dan Pakistan (43%).
BACA JUGA:Siswa Merdeka Belajar, Guru Harus Merdeka Mengajar
Dalam data tersebut, Indonesia mencapai angka yang paling tinggi, yang artinya Indonesia menduduki peringkat pertama dalam kasus kekerasan di sekolah. Hal ini seharusnya menjadi perhatian kita bersama dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Penindaklanjutan yang tegas agar maraknya kasus bisa diminimalisir dan tidak terulang perlu dilakukan, mengetahui penyebab persoalan itu terjadi juga menjadi langkah awal pemberantasan.
Adapun penyebab yang diduga awal dari penyimpangan senioritas yakni: 1) Ada hal dari junior yang tidak dimiliki oleh senior, bahasa lainnya kalah saing atau iri; 2) Gila hormat; 3) Membutuhkan pengakuan atau validasi; 4) Biasanya para senior membutuhkan pengakuan atas keberadaannya agar mereka tak terlupakan saat kedatangan junior; 5) Senior yang merasa lebih hebat dan jagoan dari juniornya; 6) Kurangnya pendidikan karakter, dan masih banyak lagi penyebab yang tidak pasti dari adanya tindakan tersebut.
Tindakan senioritas dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif, yang pastinya akan berpengaruh pada fisik dan mental. Dampak positif timbul apabila tindakan senioritas dilakukan sesuai dengan aturan dan batas wajar. Apa saja contoh dampak positif yang ditimbulkan? Antara lain, melatih mental dan kedisiplinan junior, mengajarkan junior supaya lebih hormat dan sopan kepada yang lebih tua, serta mengajarkan senior bagaimana cara menaungi juniornya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: