Kisah Alan Efendhi, Inovator Aloe Vera yang Menyemai Kehidupan di Lahan Gersang Gunungkidul

Alan Efendhi, inovator Aloe Vera penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 bidang Kewirausahaan-(Repro/Belitong Ekspres)-
GUNUNGKIDUL, BELITONGEKSPRES.CO.ID - “Khoirunnas anfa’uhum linnas – sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.”
Kutipan itu meluncur tenang dari bibir Alan Efendhi ketika berbagi kisah hidupnya dalam Bincang Inspiratif bertajuk Satukan Gerak, Terus Berdampak yang digelar Astra, Jumat 12 September 2025.
Di hadapan peserta webinar yang juga mengikuti Workshop Menulis Feature, Lomba Foto Astra, dan Anugerah Pewarta Astra 2025, Alan memaparkan sepenggal kisah perjalanan hidupnya.
Dari anak petani sederhana di Gunungkidul yang pernah ditolak pabrik otomotif, hingga menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 bidang Kewirausahaan. Semuanya berkat inovasi mengolah aloe vera atau lidah buaya menjadi makanan dan minuman sehat bernilai ekonomis tinggi.
Kisah Alan tidak sekadar tentang usaha, tetapi tentang keberanian pulang kampung, keyakinan terhadap potensi lokal, dan tekad untuk memberdayakan banyak orang di sekitarnya.
Darah Petani dan Jalan Terjal Menuju Kota
Alan Efendhi lahir dari keluarga petani di jalan Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta. Ayah, ibu, hingga kakek-neneknya adalah petani tulen.
Sejak kecil, ia akrab dengan lumpur sawah, suara cangkul, dan aroma tanah basah. Namun, ada ironi: orang tuanya justru tidak ingin ia mengikuti jejak itu.
"Pesan orang tua kalau bisa jangan jadi petani, jadilah pekerja pabrik. Hidup petani itu berat," begitu pesan yang melekat sejak Alan duduk di bangku STM jurusan otomotif.
Selepas sekolah, Alan yang sejak kecil bercita-cita ingin ke luar negeri dan menjadi karyawan perusahaan otomotif ternama mencoba peruntungan di Jakarta.
Ia pun melamar ke berbagai pabrik otomotif, sesuai jurusannya. Namun tak satu pun pintu terbuka. Puluhan kali ia melamar, berkali-kali pula ia ditolak.
"Awalnya saya santai, anggap itu hal biasa. Tapi setelah lebih dari 50 lamaran ditolak, saya mulai merenung. Mungkin memang Allah tidak mentakdirkan saya jadi pegawai pabrik otomotif," ujar Alan Efendhi, suaranya pelan.
Tahun-tahun awal dijalani dengan pekerjaan serabutan. Jakarta memberinya pelajaran keras: hidup tidak mudah, dan harapan bisa runtuh secepat gedung pencakar langit menjulang.
Tahun 2010 ia akhirnya bisa kuliah sambil bekerja, tetapi tetap merasa ada yang salah. Hidup keras Jakarta sempat membuatnya berpikir bahwa ia ditakdirkan sebagai karyawan, meski hatinya gelisah.
Setiap pulang kampung, Alan melihat orang tuanya semakin ringkih dan menua. Ia merasa kehadirannya di kota justru menambah beban keluarga, bukan menguranginya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: