Kisah Penambang Timah Babel, Pilih Jalur Legal Demi Alam dan Keluarga

Kisah Penambang Timah Babel, Pilih Jalur Legal Demi Alam dan Keluarga

Penertiban tambang liar bijih timah di salah satu mangrove di Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Babel--(ANTARA/Donatus Dasapurna)

PANGKALPINANG, BELITONGEKSPRES.CO.ID - Di tanah yang kaya timah itu, suara mesin tambang masih jadi irama hidup banyak warga. Namun kini, sebagian penambang di Bangka Belitung (Babel) mulai mengubah arah. 

Mereka tak lagi sekadar menggali rezeki dari perut bumi, tapi juga memilih menanam harapan. Menambang bisa dilakukan dengan cara yang lebih bijak, legal, dan ramah alam.

Salah satunya Aditya Pratama, penambang asal Pangkalpinang, yang sejak 2020 memilih bermitra dengan PT Timah Tbk. Keputusan itu bukan semata soal keuntungan, tapi tentang ketenangan batin, menjaga alam, dan masa depan keluarganya.

“Kalau ilegal, tidur pun nggak nyenyak. Sekarang, kerja tenang, ada payung hukum, dan kita tahu apa yang kita lakukan benar,” ujar Aditya dengan nada lega seperti dilansir dari Antara, Jumat (10/10/2025).

BACA JUGA:PT Timah Setujui Tuntutan Ribuan Penambang Babel, Harga SN 70 Naik Jadi Rp300 Ribu per Kg

Kesadaran seperti Aditya mulai menjalar. Warga Babel kini makin banyak yang beralih ke penambangan timah legal dan ramah lingkungan. Mereka sadar, tambang bukan cuma soal cuan cepat, tapi juga soal masa depan keluarga dan bumi yang mereka pijak.

Menurut Aditya, kemitraan dengan PT Timah bukan cuma memberi kepastian hukum, tapi juga membuka peluang bagi masyarakat untuk berbuat lebih. Seperti program kecil CSR dan kegiatan sosial di sekitar area tambang.

“Kalau resmi, kita bisa bantu masyarakat juga. Ada tanggung jawab sosialnya,” katanya.

Ia masih ingat masa-masa awal 2000-an, ketika tambang rakyat meledak setelah otonomi daerah. Banyak anak muda bahkan anak sekolah ikut menambang --bahasa lokalnya, ngereman. 

BACA JUGA:Polisi Kembali Gagalkan Penyelundupan Timah dari Belitung, Kapal Kayu Diamankan

“Dulu anak-anak dikasih timah sekilo, Rp100 ribu waktu itu. Akhirnya banyak yang malas sekolah,” kenangnya lirih.

Kini, situasinya berbeda. Warga mulai sadar tambang ilegal bukan solusi jangka panjang. Selain rawan hukum, aktivitas ilegal juga tak menjamin keselamatan dan tak memberi masa depan yang pasti. Sebaliknya, jadi mitra resmi PT Timah memberi kepastian kerja dan keamanan.

Meski harga jual timah ke PT Timah sedikit lebih rendah dibanding smelter ilegal, Aditya tak keberatan. “Selisihnya karena ada potongan pajak dan biaya reklamasi. Tapi itu kan tanggung jawab kita ke negara dan alam. Jadi uangnya jelas ke mana,” ujarnya.

Ia juga mengapresiasi langkah pemerintah membentuk Satgas Penertiban Tambang Ilegal. Menurutnya, kebijakan itu membuat para penambang legal bisa bekerja dengan tenang, selama penegakan hukum dilakukan adil. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: