PLTT Pemicu Utama Hilirisasi Timah, Nasib Babel Jika Ekspor Timah Distop?
Safari Ans--
Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) menjadi pemicu utama hilirisasi timah, lantas lagaimana nasib Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) jika ekspor Timah distop?
TAK hanya nikel Indonesia yang jadi rebutan negara produsen, tetapi juga timah. Timah putih asal Babel (Bangka Belitung) diam-diam jadi penentu hidup matinya industri elektronika dunia.
Jika ekspor timah distop, otomatis produsen elektronika dunia mati suri. Situasi itu terbaca oleh Presiden Jokowi setahun terakhir. Kini Indonesia, negeri tunggal pengekspor timah terbesar setelah timah Tiongkok hanya buat kebutuhan sendiri. Sayang Indonesia belum punya badan yang mengatur Stok Timah Nasional agar harga timah dunia dikendalikan Indonesia. Jika begitu, Babel makmur.
Andaikan kita sepakat bahwa Babel telah mengekspor timah dunia selama tiga abad. Dan setiap tahun Babel mencatat rata-rata 50.000 ton per tahun, maka selama 300 tahun itu, Babel mengirimkan timah ke pasar dunia sebanyak 15 juta ton timah putih. Kalau rata-rata harga timah transaksi mencapai Rp 15 triliun per tahun, maka uang yang dihasil bumi Babel telah mencapai Rp 4.500 triliun. Dana sebesar itu luar biasa. Sayang Babel hanya dapat royalti 3%, itu pun masih diambil sebesar 20% dari 3% itu oleh Pemerintah Pusat. Artinya Babel dapat tak sampai Rp 500 miliar setiap tahun. Itu selama Indonesia merdeka.
Pernyataan Menko Polhukkam Machfud MD berkenaan kasus Gubernur Papua Lukas Enembe, menyebut bahwa sejak 2001 (20 tahun) dana otonomi khusus (Otsus) Papua sudah mencapai Rp 1.000 triliun. Padahal jumlah penduduk Papua sama jumlahnya dengan pendudukan Babel -kurang lebih sama- sekitar 1,5 juta jiwa.
Lihat angka itu, Babel iri dengan Papua. Bahkah Papua diberi saham pula ketika Pemerintah Pusat ambil alih PT Freeport Indonesia, tambang tembaga (emas, Red) terbesar di Asia itu (bahkan di dunia, Red). Sebab kalau APBD Babel setiap tahunnya hanya capai Rp 10 triliun saja, maka selama 20 tahun APBD Babel hanya menghabiskan Rp 200 triliun, tak sampai seperempatnya Papua. Sedih juga anak Babel.
Kita berharap, Pj Gubernur Babel sekarang memperjuangkan royalti timah dari 3% menjadi 10%. Apalagi Dr Ridwan Djamaluddin masih merangkap Dirjen Minerba. Penulis yakin, surat dari Babel minta naikkan royalti timah sudah menumpuk di kantor Dirjen Minerba Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Selaku putra Mentok Bangka Barat, Pj Gubernur sebaiknya memberikan kenang-kenangan terindah buat Babel dengan menaikkan royalti timah. Kapan lagi kalau bukan sekarang. Kapan lagi putra Babel jadi Dirjen Minerba. Sedangkan royalti mineral lain sudah naik. Sedih lagi anak Babel.
Kesepakatan DPR RI
Ketika penulis mendampingi Gubernur Babel Elzaldi Rosman menghadiri audiensi dengan Komisi VII DPR RI pada 07 April 2021 di Jakarta. Soal royalti menjadi kesepakatan hearing tersebut. Atas izin Gubernur Babel itu, penulis mengusulkan agar Komisi VII DPR RI mendorong Pemerintah Pusat untuk menyetop ekspor timah. Usul penulis tersebut dijadikan kesepakatan audiensi saat itu. Teriakan penulis itu rupanya terdengar juga di telinga Presiden Jokowi.
Sejak tahun lalu, Presiden Jokowi telah mempublikasikan bahwa Pemerintah Republik Indonesia berniat stop ekspor timah. Tahun ini, suara itu pun semakin nyaring, pertanda Presiden Jokowi serius mau menghentikan ekspor timah (klik; https://youtube.com/watch?v=X4RD9yiA9N0&feature=share ).
BACA JUGA:Pemerintah akan Hentikan Ekspor Timah Akhir Tahun 2022, Ini Alasannya
Yang menjadi pertanyaan; mengapa ekspor timah dihentikan. Ada beberapa alasan untuk menjawabnya.
Pertama, pengekspor besar timah dunia hanya ada dua negera, yakni Tiongkok dan Indonesia.
Tiongkok sudah lama menghentikan ekspor timahnya. Negara tirai bambu itu mengumumkan; bagi produsen elektronik yang membutuhkan timah, diminta Tiongkok untuk membuka pabrik di negaranya. Dan, kalangan produsen yang membuka pabrik di negeri Panda itu, wajib melakukan transfer teknologi kepada Tiongkok. Itu syarat mutlak. Kini bisa ditulis bahwa yang menyuplai timah dunia saat ini hanya Indonesia (hanya Babel, Red). Kalau Tiongkok bisa, mengapa Indonesia tidak bisa berbuat serupa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: