Profesor Nindyo: Kegentingan Perppu Cipta Kerja Merupakan Diskresi Presiden
Pakar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Profesor Nindyo Pramono-Ist-
JAKARTA, BELITONGEKSPRES.CO.ID - Pakar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Profesor Nindyo Pramono ikut menyikapi soal kegentingan UU Cipta Kerja jo Perppu Nomor 2 Tahun 2022.
Menurut Pakar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada itu, persoalan kegentingan memaksa UU Perppu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 merupakan diskresi Presiden.
Hal itu disampaikan Profesor Nindyo Pramono dalam keterangan keterangan tertulisnya, Selasa (31/1/2023). Dalam hal ini sebagai upaya mencegah Indonesia agar tidak masuk ke dalam situasi stagflasi (krisis).
“Tentang kegentingan memaksa tentu merupakan diskresi yang menjadi ruang lingkup kewenangan Presiden. Penetapan Perppu diputuskan Presiden, agar Indonesia tidak masuk ke dalam situasi krisis,” terang Profesor Nindyo Pramono.
BACA JUGA:Perppu Ciptaker Sangat Diperlukan, Pengamat: Untuk Indonesia Siap Hadapi Tantangan Global
BACA JUGA:Kata Guru Besar Hukum UNNES, Perppu Ciptaker Solusi Tepat untuk Melaksanakan Putusan MK
Maka dari itu menurut Profesor Nindyo, tindakan antisipatif dengan Perppu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tersebut merupakan tindakan yang tepat.
“Tanpa harus menunggu untuk terjadi krisis dahulu, baru kita semua 'kelabakan" agar keluar dari krisis. Belum lagi jika terulang situasi chaos seperti pada tahun 1997-1998,” tukas Prof Nindyo.
“Karena saya yakin, jika kita mau berpikir arif dan bijaksana, tentu tak ada satupun anak bangsa yang menghendaki peristiwa pada tahun 1997-1998 terulang kembali,” sambungnya.
Bahkan Prof Nindyo mencatat, beberapa Perppu sebelumnya juga sama sekali tak menjelaskan soal kegentingan memaksa. Pertama, Perppu Nomor 1/1998 tentang Perubahan UU tentang Kepailitan.
BACA JUGA:Kapal Roro Dihentikan Sementara Karena Cuaca Buruk, Bagaimana Dengan Express Bahari?
BACA JUGA:Pemilu 2024, Wali Kota Pangkalpinang Dapat 'Golden Tiket' dari Rudianto Tjen
Kata dia, Perppu Cipta Kerja ini lahir di tengah krisis pada tahun 1997/1998, di mana persoalan ‘kegentingan memaksa’ saat itu sangat bernuansa pertimbangan ekonomi.
“Ketika itu Pemerintah menghabiskan dana talangan Rp 600 triliun, tak pernah mengatakan tegas bahwa negara dalam keadaan darurat (staad noodrechts),” jelas Prof Nindyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: