Profesor Nindyo: Kegentingan Perppu Cipta Kerja Merupakan Diskresi Presiden

Profesor Nindyo: Kegentingan Perppu Cipta Kerja Merupakan Diskresi Presiden

Pakar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Profesor Nindyo Pramono-Ist-

Kedua, Perppu Nomor 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas juga tak menyebut adanya kegentingan memaksa. 

Ketiga, Perppu Nomor 1/2004 tentang Perubahan UU Nomor 41/1999. Tak ada satu pun kalimat yang menyatakan adanya kegentingan memaksa sehingga keluar Perppu ini. 

BACA JUGA:Bupati Beltim: Ritel Modern Bagian Pertumbuhan Ekonomi, Masyarakat Sudah Cerdas Berbelanja

BACA JUGA:Waspada Cuaca Ekstrem Gelombang Tinggi, KSOP Tanjungpandan Kembali Keluarkan Surat Himbauan

Keempat, Perppu Nomor 1/2014 yang membatalkan UU Nomor 22/2014 tentang Pilkada, sama sekali juga tak menjelaskan adanya kegentingan memaksa.

Alasan yang dipakai, UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur mekanisme pilkada secara tak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan luas dari rakyat. 

Di sisi lain Prof Nindyo mengatakan, kehadiran Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dinilai penting bagi kepentingan iklim investasi. Sebab selama ini selalu tertinggal dari negara-negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam.

Hal itu disebabkan karena berbelit-belitnya prosedur perizinan di Indonesia seakan sudah menjadi permasalahan yang tidak menarik minat investasi di Tanah Air.

BACA JUGA: Transaksi Pasar Tani DKPP Belitung 2022 Capai Rp 89,1 Juta, Tahun Ini Berlanjut Lagi

BACA JUGA:Kajari Belitung Berharap Para Jurnalis Jaga Kualitas Berita, Sebagai Sumber Informasi Terpercaya

“Secara obyektif, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan investasi melalui kemudahan berusaha,” sebut Pakar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada itu.

Dia melanjutkan, investor kerap menuntut beberapa fasilitas. Antara lain, pertama, peraturan perundang-undangan yang konsisten dan menjamin kepastian hukum dalam jangka panjang. 

Kedua, prosedur perizinan yang tidak berbelit-belit yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Ketiga, jaminan terhadap investasi serta proteksi hukum hak kekayaan intelektual (HKI).

"Dan terakhir sarana dan prasarana yang menunjang, antara lain komunikasi, transportasi, perbankan, dan asuransi,” tandas Prof Nindyo. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: