Maka, sekarang ini, Indosiar punya beberapa channel. Siaran sepak bola Piala Presiden itu, misalnya, bisa saya tonton di Indosiar channel 11. Istri saya tetap bisa nonton acara Indosiar lainnya di channel yang berbeda.
Indonesia sebenarnya sudah punya UU Penyiaran lama sekali. Tahun 2002. Semangatnya masih sangat reformasi. TV itu harus berjaringan. Semua TV harus TV lokal. Tidak boleh lagi ada TV nasional –kecuali TVRI.
TV di Jakarta pun menjadi TV lokal Jakarta. Kalau ingin ditonton di seluruh Indonesia TV Jakarta itu harus berjaringan dengan TV-TV lokal. Agar ada muatan lokalnya. Tidak ''menjakartakan'' seluruh Indonesia.
Di zaman Menkominfo Tifatul Sembiring niat untuk digitalisasi itu sudah ada. Tifatul sudah melangkah. Ia menerbitkan Permen untuk mengaturnya.
Ups...tidak bisa jalan. Permen itu digugat. Yang menggugat anak buah saya: Imawan Mashuri. Ia dua kali menggugat pemerintah saat itu. Dua-duanya menang. Menteri Tifatul kalah.
Imawan memang saya beri tugas mendirikan TV lokal: JTV. Izinnya tidak bisa keluar. Aturannya memang masih serba abu-abu. Kami ngotot tetap siaran. Kami merasa, yang di luar Jakarta juga berhak punya TV. Indonesia bukan hanya milik Jakarta.
JTV disegel. Dilarang siaran. Imawan jadi tersangka. Ia hadapi dengan gagah berani. Saya lupa apakah Imawan sampai dibawa ke pengadilan. Yang jelas JTV bisa terus siaran. Kelak di tahun 2015 Imawan lulus S-2 hukum dengan tesis perlawanannya itu.
Digitalisasi siaran juga ditentang oleh pemilik stasiun TV besar –seperti Harry Tanoesoedibjo, pemilik RCTI Group. Lobi mereka kuat sekali. Kalau digitalisasi itu terjadi akan banyak sekali stasiun TV. Bisa lebih dari 100 channel. Pemasang iklan akan terbagi ke begitu banyak TV. Itu bisa mengancam pendapatan mereka dari iklan.
Maka sampai pun lebih 15 tahun digitalisasi penyiaran belum bisa terlaksana.
Digitalisasi TV Terestrial itu, ujar Prof Dr Henri Subiakto sudah direncanakan sejak 2007. Izinnya mulai dilelang tahun 2012. Tapi proses itu mandek sejak 2015. Akibat gugatan tadi. Peraturan menterinya dibatalkan Mahkamah Agung. Dalam putusan MA disebutkan analog swicth-off hanya boleh dilanjutkan apabila normanya diatur dalam UU.
Lalu datanglah Omnibus Law. Yang heboh itu. Yang pengesahannya dilakukan Presiden Jokowi tanggal 2 November 2020. UU Cipta Kerja itu –nama resmi Omnibus Law– mengatur juga siaran televisi. Ada pasal 60. Yakni di bagian yang mengatur Pos dan Telekomunikasi. "Di situ diatur tentang analog switch-off dilakukan paling lambat 2 tahun setelah UU ini berlaku," ujar Prof Henri Subiakto, staf ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika. Berarti 2 November depan.
Kenapa harus dilakukan digitalisasi? Agar kualitas siaran dan gambarnya bisa lebih cling?
Itu jelas. Tapi bukan yang utama. "Siaran TV analog itu boros sekali frekuensi," ujar Prof Subiakto, guru besar Unair itu. Negara harus melakukan efisiensi frekuensi.
Itulah yang dilakukan Johnny yang sudah pandai berbahasa Inggris sejak di SMP dan SMA di Ruteng, Flores. Ia beruntung guru bahasa Inggrisnya orang bule dari Australia.
Johnny lantas masuk fakultas kehutanan UGM Yogyakarta. Hanya sebentar. "Ternyata lulusan fakultas kehutanan bisa jadi Presiden," guraunya.
Dengan pindah ke gidital banyak frekuensi yang bisa dihemat. "Frekuensi yang selama ini dipakai siaran TV analog bisa dimanfaatkan untuk telekomunikasi. Negara bisa mendapat penghasilan jauh lebih banyak dari telekomunikasi," ujar Prof Subiakto.