Refleksi Kurikulum Merdeka: Guru Loss Everything

Senin 30-01-2023,23:13 WIB
Editor : Redaksi BE

Hasilnya, pertama, 71,1 persen guru merasa KM lebih memudahkan daripada Kurikulum 2013 (K13), 23,8 persen merasa sama saja, dan 5,1 persen guru menganggap lebih menyulitkan. Kedua, KM menciptakan 214 model kurikulum (?). Survei juga dilakukan pada PMM.

BACA JUGA:Remaja dan Ilusi 'Keren' Merokok

Hasilnya, platform ini digunakan oleh lebih dari dua juta guru dan berhasil membentuk 8.100 komunitas guru. Sebanyak 93,5 persen guru yang disurvei menilai PPM sesuai kebutuhan penggunanya dan 94 persen guru menilai PMM membantu dalam menyelesaikan masalah.

Laporan evaluasi ini juga menunjukkan persepsi positif Dinas Pendidikan terhadap KM dan PMM sebesar 76,4 persen. Angka-angka ini sangat fantastis dan teatrikal untuk tidak mengatakan lebih mirip jeruk makan jeruk.

Namun, bukankah dengan demikian seharusnya terjadi peningkatan luar biasa terhadap kompetensi guru dan pemahaman yang baik atas KM dalam skala besar?

Pertanyaannya, mengapa angka-angka tersebut tidak terasa di lapangan? Pertama, akses sinyal internet yang memadai merupakan faktor penting dalam menjamin keberhasilan sosialisasi KM. Namun, masih ada beberapa masalah yang belum terselesaikan dalam hal akses sinyal internet, terutama di daerah-daerah pedesaan atau terpencil. Hal ini menyulitkan guru dan sekolah dalam mengakses platform Merdeka Mengajar (PMM) yang merupakan sarana utama dalam sosialisasi KM. Ini menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan informasi, dokumen, dan contoh praktik kurikulum yang diperlukan.

Sebanyak 39,68 persen sekolah di Indonesia masih nir koneksi internet (Tableau, 2022). Artinya, masih ada gap cukup besar, yang tidak bisa dijembatani PMM. Masih dibutuhkan pelatihan nondigital yang menopang transmisi pemahaman kurikulum ke penjuru negeri ini.

Kepercayaan diri bahwa platform tunggal PMM bisa menyelesaikan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) di sekolah, dibuktikan dengan pernyataan kementerian bahwa mereka membiarkan 142 ribu sekolah melaksanakan kurikulum ini secara mandiri tanpa pelatihan.

Hasilnya, berbagai sekolah di daerah mengeluhkan, mereka harus belajar mandiri (andragogi) dan mendatangkan para ahli, narasumber, dan fasilitator secara mandiri.

Padahal, tidak jarang guru dan sekolah menggelar iuran mandiri untuk mempelajari kurikulum ini. Sangat tak setimpal karena anggaran pendampingan KM sekitar Rp 2,86 triliun, lebih besar Rp 40 miliar dari anggaran implementasi K13.

BACA JUGA:Menyikapi Viralnya Permainan Lato-Lato Bagi Siswa SD

Kedua, SP hanya bisa berhasil pada dirinya sendiri. Model ini segera runtuh ketika diterapkan pada sekolah dengan fasilitas kurang memadai.

Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemendikbud Ristek mencatat, 63,62 persen pelatih ahli SP terhambat karena bentrok dengan kegiatan lain. PSKP merilis, pelatih ahli kurang memahami SP bahkan tak bisa memberi solusi yang ditanyakan sekolah (PSKP, 2022).

Para guru penggerak atau perwakilan SP (kategori sekolah berbagi) yang dikirim ke sekolah di sekitarnya, juga hanya menjadi pengkhotbah yang berbagi cerita keberhasilan.

Sekolah-sekolah ini (kategori belajar dan berubah) kemudian mencari jalan pintas karena tekanan dinas pendidikan, dengan cara menyalin semua dokumen dari sekolah penggerak untuk menyelesaikan syarat menggunakan kurikulum merdeka yang sukses di atas kertas.

Hal ini tentu saja merugikan proses pembelajaran dan perkembangan anak-anak di sekolah tersebut. Kurikulum Merdeka ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan mengembangkan potensi anak-anak secara optimal, sehingga diperlukan partisipasi aktif dan komitmen dari semua pihak, termasuk guru, kepala sekolah, serta dinas pendidikan, untuk menerapkan kurikulum ini dengan baik dan benar.

Kategori :

Terpopuler